

"Kau bertahan hidup karena butir rubahku." ujar Mi Ho. "Kini kau akan mati."
Perlahan, Mi Ho melayang dan hendak pergi meninggalkan Dae Woong. "Aku sudah menolongmu, tapi kau mencampakkan aku. Aku tidak akan peduli padamu."
Mi Ho berbalik, hendak membiarkan Dae Woong yang sekarat. Namun ia teringat kenangannya bersama Dae Woong.
Mi Ho pergi, namun tidak lama kemudian kembali lagi.



"Waa!" teriak Dae Woong seraya berlari kabur dan bersembunyi dibalik papan olahraga.
"Dia pikir dia bisa melarikan diri." gumam Mi Ho pelan. "Jika ingin dia tetap berada disisiku, aku harus sedikit menakutinya."
Dae Woong bernapas terengah-engah. Ia mengintip sedikit ke arah Mi Ho.
"Kau pikir aku tidak bisa melihatmu bersembunyi disana?" tanya Mi Ho. "Aku Gumiho."
"Aku harus keluar dari sini." gumam Dae Woong. Ia mendongak dan berpikir. "Jika aku lari, melompat, menaiki gawang futsal, kemudian naik ke atas lewat jaring itu, aku pasti bisa lolos. Ya. Itu ide bagus!" pikir Dae Woong.
Dae Woong mengangguk, memantapkan pikiran. Ia bangkit untuk menjalankan rencananya itu.


Mi Ho melihat ulah Dae Woong dengan heran. "Kau butuh bantuan?" tanyanya.
Dae Woong lari dan bersembunyi lagi. "Aku hampir berhasil." gumamnya terengah. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"


Dae Woong mengangguk, kemudian bangkit untuk menjalankan rencananya. Ia berhasil naik dengan susah payah, namun tali flying fox tidak mau bergerak.
"Ayo bergerak! Bergerak!" ujar Dae Woong.
"Tidak ada gunanya mencoba melarikan diri." kata Mi Ho. "Aku tidak bergerak sedikitpun, tapi kau sudah berada diatasku. Bagus sekali. Aku hanya tinggal membuka mulutku dan menangkapmu."
Mi Ho membuka mulutnya seperti hewan buruan yang hendak memakan mangsanya.


Mendadak ponsel Dae Woong berdering. "Ya, aku memiliki ponselku." ujarnya senang. Ia merogoh ponsel dalam sakunya. "Ini kakek!" serunya senang. "Ya, aku akan mengatakan pada kakek agar menyelamatkan aku!"
Dae Woong menekan tombol accept. Namun sayang ponsel itu tergelincir dari tangan Dae Woong dan jatuh ke bawah. "Tidaaaaakkkk!!" teriak Dae Woong histeris.
Mi Ho mendekatkan kepalanya ke ponsel yang terjatuh untuk mendengarkan suara Kakek Poong. "Dia mencari Dae Woong." gumamnya.
"Hah? Siapa kau?" tanya Kakek, mendengar suara Mi Ho. "Kenapa kau mengangkat ponsel Dae Woong? Dimana Dae Woong?"
"Dae Woong?" gumam Mi Ho, mendongak melihat Dae Woong yang masih bergelantungan. "Dia ada di atasku."
Kakek Poong langsung salah paham. "Apa?!" serunya, sangat shock dan langsung menutup telepon.
"Ayah, ada apa?" tanya Mi Sook, membantu ayahnya yang oleng.
"Sepertinya aku sudah hidup terlalu lama..." ujar Kakek.


"Cepat turun!" seru Mi Ho.
"Tidak mau!" tolak Dae Woong. "Aku lebih memilih bergantung disini dan mati dibandingkan harus turun dan dimakan olehmu."
"Kalau kau tidak mau turun, haruskan aku yang menurunkanmu?" tanya Mi Ho. "Aku gumiho. Aku akan mengambil dan memakanmu!"
"Kau pikir aku apel yang bisa kau ambil dan kau makan?!" seru Dae Woong.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Mi Ho terbang dan membawa Dae Woong turun.
"Kuakui bahwa kau adalah gumiho." kata Dae Woong takut. "Kau sudah mengambilku. Jadi sekarang... makan aku."
"Aku benar-benar boleh memakanmu?" tanya Mi Ho.
"Ketika kau makan aku, ingat ini baik-baik. Karena di dunia ini ada gumiho, pasti di dunia ini juga ada hantu. Aku mungkin mati ditanganmu, tapi... aku akan kembali sebagai arwah penasaran dan akan membalas dendam."

"Aku tidak mau memohon ampunan pada orang sepertimu!" bentak Dae Woong.
"Begitu.. Padahal aku akan mengampuni nyawamu jika kau meminta." gumam Mi Ho.
"Tolong ampuni aku." ujar Dae Woong cepat, memohon pada Mi Ho. "Tolong...."


"Mereka mengatakan bahwa ia mencari bibinya..." gumam Dong Joo. Akhirnya Dong Joo berhasil menerka.
Ia menekan tombol ponsel. Begitu ada yang mengangkat dari seberang saluran, ia berkata, "Bibi?"
"Apa ini Dae Woong?" tanya Bibi, masuk dalam jebakan Dong Joo. Dong Joo jadi tahu nama Dae Woong. "Dimana kau?"
"Bibi, aku teman Dae Woong." kata Dong Joo, tersenyum menang. "Aku tidak bisa menghubunginya. Bisakah aku memastikan nomor ponselnya?"


"Karena hari sudah malam, aku tidak bisa mendapatkan daging sapi." ujar Dae Woong menjelaskan dengan ketakutan. "Kuharap ayam bisa memuaskan rasa laparmu sementara waktu."
Mi Ho asyik memakan daging ayam itu.
"Kau bilang, kau ingin ada disisiku sampai kau bisa mengambil kembali butir rubahmu." ujar Dae Woong. Mi Ho mengangguk. "Bagaimana jika kau kembali ke tempatmu berasal. Aku akan mengembalikan butir itu padamu begitu waktunya sudah tepat."
Mi Ho menatap Dae Woong tajam.
"Kau tidak menyukai ide itu." ujar Dae Woong. "Aku pasti sedang dihukum." Ia kemudian menjelaskan pada Mi Ho bahwa ia diusir dari rumah dan tidak memiliki uang. Ia merasa tidak sanggup harus menemani seseorang yang penting seperti Mi Ho.
Mi Ho mematahkan tulang ayam sampai terdengar bunyi kretak.
Dae Woong ketakutan. "Tapi aku akan berusaha se mampuku." ujarnya.
"Dae Woong, karena butiran rubahku ada didalam tubuhmu, aku tidak bisa melepaskanmu." ujar Mi Ho, tersenyum ceria. "Kau milikku."


"Kau menggunakan itu karena takut aku akan memakanmu?" tanya Mi Ho.
"Aku kedinginan." jawab Dae Woong, berbohong.
"Apakah aku sangat menakutkan?"
"Kau bisa saja kelaparan di tengah malam. Karena ada hati manusia di sampingmu, kau memakannya." kata Dae Woong.
"Apa kau pernah melihat aku makan hati?" tanya Mi Ho kesal.
"Kau gumiho."
Kekesalan Mi Ho berubah menjadi sedih. "Ya, aku gumiho. Jaga hatimu."
Mi Ho kemudian berbalik dan berbaring tidur.

"Jika ia bersama dengan Cha Dae Woong, aku akan lebih mudah menangkapnya." ujar Dong Joo.
Ia membuka sebuah kotak kayu kecil berisi belati yang berasap.
"Kenapa kau kembali ke dunia?" gumam Dong Joo pada lukisan rubah. "Dunia ini bukan tempat yang bagus untukmu."


"Sangat menyenangkan bersamanya sepanjang hari." kata Mi Ho senang, menatap Dae Woong yang tidur. "Aku akan berada bersamanya sampai ia sembuh."
Dae Woong menggaruk pipinya yang gatal karena digigit nyamuk.
Mi Ho melihat itu dan langsung membunuh semua nyamuk yang berkeliaran. "Aku menangkap mereka semua agar mereka tidak bisa memakanmu!" katanya. "Aku ataupun nyamik tidak akan memakanmu, jadi tidurlah dengan nyenyak."


"Apa yang dikatakan gadis itu ditelepon sampai kau begini, Ayah?" tanya Mi Sook.
"Lupakan saja!" seru Kakek. "Ini bukan sesuatu yang harus diketahui seseorang yang belum menikah!"
"Kenapa kau mengungkit masalah pernikahanku lagi, Ayah?" protes Min Sook. "Tunggu dan lihat saja! Aku akan segera menikah!"
Min Sook ngambek dan berjalan pergi.


Setelah selesai makan dengan menghabiskan banyak uang tunai di dompet Dae Woong, Mi Ho minta Dae Woong membelikannya soda.
"Bagaimana ia bisa tahu mengenai minum soda setelah makan daging?" gumam Dae Woong, terpaksa mengabulkan permintaan Mi Ho karena takut.
Dae Woong mengeluarkan uang koin dan memasukkannya dalam mesin, tapi minuman kaleng itu tidak keluar.
"Apa kau memakan uangku?" omel Dae Woong pada mesin seraya memukul-mukul. Dae Woong terus marah-marah dan menendang-nendang mesin minuman.
Mi Ho ikut-ikutan menendang mesin hingga mesin tersebut terguling jatuh. Minuman kaleng berlompatan keluar. Dae Woong mengambil beberapa, lalu kabur bersama Mi Ho.


Mi Sook tersedak dan hampir pingsan. Pria itu menolong Min Sook mengeluarkan es batu dari tenggorokannya. Mi Sook selamat.
Mi Sook merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. "Karena inilah aku tidak bisa menikah." ujarnya sedih.


"Jadi ini yang dinamakan universitas." ujar Mi Ho kagum. "Kudengar orang-orang datang ke kuil dan berdoa agar bisa masuk ke universitas. Aku penasaran tempat seperti apa itu karena semua orang ingin masuk kesana. Kau bisa masuk ke universitas, berarti kau mengesankan!"
"Ya. Universitas adalah tempat yang mengesankan." kata Dae Woong. "Jadi kau tidak bisa berlaku seperti gumiho. Jika kau melompat dengan tinggi dan menendang seperti sebelumnya, semua orang akan tahu kau gumiho. Orang-orang disini sangat pintar."
"Aku mengerti." ujar Mi Ho. "Aku akan berpura-pura menjadi manusia. Jika aku bersikap tenang, mereka tidak akan tahu bahwa aku gumiho, bukan?"


"Aku meninggalkan dompetku di rumah." kata Mi Soo. "Jika aku punya uang, aku pasti akan meminjamkannya padamu."
Diam-diam, Mi Ho berjongkok di dekat saku belakang Mi Soo. "Dompetnya ada disini." katanya. "Ada banyak uang didalamnya. Aku mencium bau uang."
Dae Woong mendatangi temannya satu per satu. Mereka semua mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang, tapi kenyataannya uang mereka banyak. Mi Ho tahu persis hal itu.


Dae Woong hanya diam dan berjalan pergi.
"Dia memiliki banyak uang." kata Mi Ho, mencium bau uang di tas orang ketiga yang ingin dihutangi Dae Woong. "Dia temanmu, tapi dia berbohong. Kenapa kau diam saja? Ap akau takut padanya?"
Dae Woong berbalik dan berjalan mendekati temannya yang berbohong. "Kau mengatakan kau tidak punya uang untuk makan siang?" tanyanya. Ia menyerahkan beberapa lembar uang di tangan temannya itu. "Gunakan ini untuk membeli makan siang."
"Kenapa kau memberikan uangmu?" teriak Mi Ho marah. "Ia berbohong padamu!"
"Kadang lebih baik tidak tahu dari pada tahu!" seru Dae Woong. "Dan kadang lebih tidak memalukan jika kau bersikap seakan kau tidak tahu daripada kau tahu! Kau tidak tahu apa-apa! Jangan campuri urusan orang lain. Kau bahkan bukan orang."
Mi Ho cemberut.
Dae Woong berjalan pergi.


"Kenapa orang yang mau meminjam uang padamu malah memberimu uang?" tanya seorang pria pada teman Dae Woong.
"Aku tidak tahu." jawab teman Dae Woong. "Biasanya ia selalu punya banyak uang. Jika kau bergaul dengannya, kau bisa mendapat banyak makanan gratis. Kita bisa menghisapnya dengan mudah."
Mi Ho menguping pembicaraan mereka. "Apa?! Menghisap?!" serunya marah. Tapi karena Dae Woong menganggap lebih baik tidak tahu, Mi Ho tidak bercerita apa-apa.

"Bagaimana caranya melenyapkan dia?" pikir Dae Woong, membolak-balik halaman buku.
Dilain pihak, Dong Joo sudah berangkat mencari Dae Woong untuk menangkap gumiho.
Dae Woong tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Setelah itu, ia mencari informasi mengenai kuil rubah di internet. Dengan itu, ia akhirnya tahu bahwa gumiho berhasil meloloskan diri karena ia menggambar kesembilan ekor rubah.


"Aku ingin yang warna merah." gumam Mi Ho.
Mendadak sebuah bola basket menggelinding di kaki Mi Ho.
"Tolong ambilkan bola itu." kata seorang pria.
Mi Ho menoleh. Rupanya pria itu adalah teman Dae Woong dan komplotannya.
"Dia cantik!" gumam para pria itu terpesona melihat Mi Ho. "Cepat bicara dengannya!"
"Aku melihatmu tadi." ujar teman Dae Woong. "Kau bersama dengan Dae Woong. Aku adalah temannya."
"Kau mengikutinya, mencari makanan gratis dan berbohong." kata Mi Ho dingin. "Apa itu teman? Apa kau bisa menghisapnya dengan mudah?!"
Mi Ho melempar bola basket dengan keras ke arah teman Dae Woong dan berhasil mengenai wajah. Hidung teman Dae Woong berdarah. Ia lalu pingsan.
Mi Ho tersenyum puas dan berjalan pergi. "Aku juga mengikutinya dan mencari makanan gratis." gumamnya pada diri sendiri. "Tapi aku kan bukan manusia dan bukan temannya, jadi tidak masalah!"


Mi Ho membenarkan. "Karena itulah aku memberikan hal yang paling berharga untukku padamu." katanya, menyentuh dada Dae Woong. "Jangan terlalu melebih-lebihkan. Anggap saja ini adalah pertanggungjawaban atas perbuatanmu."
Tiba-tiba pintu terbuka. Byeong Soo dan Sun Nyeo berdiri di depan pintu.
"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Byeong Soo.
"Gadis itu bilang ia memberikan hal yang berharga dan mengatakan pada Dae Woong untuk bertanggung jawab!" seru Sun Nyeo. "Aku tidak percaya kau serendah itu!"
"Memangnya aku melakukan apa?!" tanya Dae Woong.


"Ia tidak suka jika orang lain tahu bahwa ia adalah Gu Mi Ho." ujar Dae Woong.
Byeong Soo hanya tertawa dan mengeluarkan uang untuk Dae Woong. Sepertinya Byeong Soo sangat menyukai dan terpesona pada Mi Ho. "Paling tidak gunakan ini." katanya. "Kau memiliki Mi Ho. Pasti sulit hidup tanpa uang. Kelihatannya kau sudah berubah karena seorang wanita. Aku harus berkenalan secara formal dengan Mi Ho."
Mi Ho tersenyum senang dan mendekati mereka.
"Tidak, tidak!" larang Dae Woong. "Bukankah kau harus bekerja?"
Byeong Soo tertawa. "Kau ingin berdua dengan Mi Ho?" tanyanya. "Kalau begitu aku akan berkenalan lain waktu saja."
Byeong Soo pergi.
Mi Ho sangat senang karena akhirnya ia memiliki nama. Namanya adalah Mi Ho.


Dong Joo mengatakan pada Dae Woong bahwa ia mendapat paket dan menyuruhnya datang.
Dong Joo bersembunyi di balik dinding ketika Dae Woong lewat seorang diri, tanpa Mi Ho.
"Jika rubah itu dekat, belati ini akan merespon." kata Dong Joo. Beberapa saat tidak ada respon. Namun tidak lama kemudian, belati Dong Joo menyala. Mi Ho saat itu berada tidak jauh darinya.
Dong Joo bergegas berlari ke arah Mi Ho.

Mi Ho melihat seorang pria berkostum ayam sedang menaiki motor. Mi Ho senang dan bergegas mengejar.


"Bagaimana bisa mereka memiliki wajah yang serupa?" gumam Dong Joo lemah.


"Maafkan aku." ujar wanita berambut putih, menyentuh wajah Dong Joo.
Wanita tersebut menghilang. Dong Joo berteriak dan menangis histeris.



"Kau kan datang dari lukisan." ujar Dae Woong. "Kenapa kau tidak masuk dan memakan ayam ini?"
"Aku tidak bisa masuk kesana." keluh Mi Ho.
Dae Woong berniat mengorek informasi. "Dimana nenek tiga dewi yang mengurungmu dalam lukisan? Apa dia ada di kuil?"
"Kenapa?" tanya Mi Ho. "Kau ingin mengatakan padanya bahwa aku disini? Dia tidak bisa dipanggil. Cepat panggil ayam saja!"
"Dia pasti punya kelemahan." pikir Dae Woong dalam hati.


"Kau tahu bahwa aku ingin sekali menjadi manusia, bukan?" tanya Mi Ho sedih.
"Kau lebih dari semua manusia." kata Dae Woong. "Jika kau tidak memakanku, aku benar-benar ingin dekat dengan makhluk spesial sepertimu."
"Aku tidak akan memakanmu! Sungguh!" ujar Mi Ho cepat.
"Kalau begitu, kau ingin menjadi temanku?" tanya Dae Woong.
"Teman? Tapi aku bukan manusia. Bisakah kita berteman?"
"Tentu saja!" jawab Dae Woong. "Asal perasaannya cocok, kita bisa menjadi teman." Dae Woong menyebutkan satu per satu film dimana manusia berteman dengan makhluk dari dunia lain seperti alien.
"Bagaimana mereka menjadi teman?" tanya Mi Ho.
Dae Woong berpikir sejenak. "Jika kau lakukan ini dan mengatakan 'Hoy hoy', maka kita sudah berteman." jawabnya seraya memutar tangan dan mempertemukan ujung telunjuk tangan kanan dengan ujung telunjuk tangan kiri.
Mi Ho dan Dae Woong menyentuhkan ujung jari telunjuk mereka masing-masing.
"Kini kita teman." ujar Dae Woong.


"Apa? Kau masuk di bagasi bus yang kutumpangi?" seru Dae Woong, terkejut. "Kupikir kau menghilang atau terbang."
"Aku tidak bisa melakukannya." kata Mi Ho. "Aku memberikan butir rubahku padamu."
"Karena butirmu ada disini, kau tidak bisa mengeluarkan kemampuanmu?" tanya Dae Woong. "Dan kau bisa mencium dan mendengar seperti anjing?"
"Aku lebih baik dari anjing." kata Mi Ho kesal.
"Aku merasa kita semakin dekat." kata Dae Woong. "Sepertinya kau tidak berbeda denganku. Kau punya kelemahan, bukan?"
"Aku tidak punya kelemahan." jawab Mi Ho polos.
"Tidak ada sesuatu yang kau takuti atau yang tidak kau sukai?" tanya Dae Woong memancing.
"Ada." jawab Mi Ho. "Air. Aku tidak suka air. Dan karena sekarang aku tidak punya butir rubah, aku jadi takut pada air."
Dae Woong mengambil botol air. "Karena temanku tidak suka air, aku akan meminumnya."
"Bukan air itu." kata Mi Ho. "Tapi air yang banyak. Ketika aku berada di sungai atau laut, aku tidak bisa merasakan energi apapun. Itu sangat menakutkan."


Tiba-tiba Mi Ho datang dan mengajaknya keluar. Ia ingin menunjukkan ekornya lagi pada Dae Woong. "Aku sangat senang hingga ekorku hampir keluar." katanya ceria. "Kau ingin melihatnya lagi, bukan? Ayo keluar!"
"Aku tidak siap untuk melakukan tahap sejauh itu." tolak Dae Woong.
"Kau sudah pernah melihatnya sekali." kata Mi Ho malu-malu. "Kau harus terbiasa."
Mi Ho menggandeng tangan Dae Woong dan mengajaknya keluar.



"Hari ini tidak ada daging sapi." protes Dae Woong bertekad. "Sapi, sapi, sapi. Kau selalu menyanyi sapi."
Mata Mi Ho menjadi berubah menakutkan.
Mendadak sebuah pot bunga jatuh dari lantai dua, tepat di atas Dae Woong. Mi Ho bergegas melompat dan menendang pot itu, menyelamatkan Dae Woong.
"Bolehkah kita makan daging sapi sekarang?" tanya Mi Ho dengan ekspresi manja.
Dae Woong tersenyum pahit dan mengangguk.


Akhirnya Min Sook berhasil menemukan pria misterius. Tapi belum sempat Min Sook mendekatinya, Sun Nyeo mendadak datang.
"Doo Hong, apa kau menunggu lama?" tanya Sun Nyeo, menggandeng lengan pria misterius.
Sun Nyeo dan si pria misterius itu sepertinya sangat dekat. Min Sook kemudian membuang muka dan berjalan pergi.
Pria misterius, yang ternyata bernama Ban Doo Hong, melihat Min Sook. Ia bergegas mengejar.
"Tunggu sebentar ya!" pintanya pada Sun Nyeo.
"Ayah..."
Ah, rupanya pria itu adalah ayah Sun Nyeo.


Min Sook saat itu sedang bersandar pada patung. Ia merasa kecewa karena mengira Doo Hong masih single.
"Apa Anda mencari pakaian untuk suami Anda?" tanya pramuniaga.
"Ya." jawab Min Sook.
Doo Hong mendengar hal itu dan terlihat kecewa. Ada kesalahpahaman diantara mereka.

"Berhenti memberi ikan-ikan itu makan." seru Byeong Soo. "Jika kau memberi makanan aneh, kau akan kena masalah. Mereka ikan-ikan mahal."
"Mereka ikan-ikan murah. Ikan kakekku yang mahal." kata Dae Woong. Ia mendadak punya ide. "Ikan! Ya benar!"
Dae Woong bergegas pergi, menitipkan Mi Ho pada Byeong Soo. "Aku akan mencari uang untuk makan daging!" katanya.


"Semakin besar, harganya akan semakin mahal!" serunya bersemangat.
Dae Woong baru saja berhasil menangkap satu ikan, namun kakeknya mendadak datang membawa tongkat.
"Kau ingin mencuri ikanku?!" seru Kakek marah.

"Aku akan memberimu uang!" teriak Kakek. "Kembalikan ikanku!"
"Melihat bagaimana usahanya menangkapku, ikan ini pasti mahal." gumam Dae Woong seraya lari.
Dae Woong menyebrang jalan. Tanpa ia sadari, sebuah truk melaju kencang dan menabraknya. Ikan yang dibawa Dae Woong terlempar.


"Kami tidak bisa melakukan banyak." ujar dokter, menyesal.
"Haruskah aku melepasmu seperti ini?" tangis Kakek.
Tidak lama kemudian, Dae Woong masuk ke ruangan dengan luka kecil di kening. Kakek menatapnya marah.
Aahh, rupanya yang tewas adalah ikan kesayangan kakek. Dan mereka sedang berada di rumah sakit hewan.
"Kita bicara setelah tiba di rumah." ujar Kakek pada Dae Woong.
"Aku tidak bisa pergi!" tolak Dae Woong. "Jika aku lari dari wanita itu, aku akan mati. Tolong berikan aku sedikit uang."
"Kau benar-benar tersihir oleh gadis itu?" tanya Kakek. "Bawa ia ke rumah. Aku ingin melihat gadis seperti apa yang kau sukai. Aku harus memutuskan apakah ia pantas kau nikahi."
"Untuk apa aku menikahinya?!" seru Dae Woong. "Aku hanya akan bersamanya beberapa waktu!"
Kakek sangat marah dan menampar wajah Dae Woong. Ia mengira Dae Woong hanya ingin mempermainkan gadis itu dan tidak berniat serius.
"Hiduplah sesukamu!" seru Kakek.
"Kakek, kau bahkan tidak tahu apa-apa." rengek Dae Woong.


"Aku baru saja melihat Kak Hye In." kata Sun Nyeo. "Ia sedang bersama dengan Byeong Soo dan kekasihmu."
"Apa?!" seru Dae Woong. Ia bergegas berlari sekuat tenaga untuk mencari Hye In. "Kakak, kau tidak boleh salah paham!"


"Bukan..." jawab Byeong Soo, terlihat ragu dan bingung.
"Namaku Mi Ho." ujar Mi Ho memperkenalkan diri.
"Mi Ho, kau menderku bukan?" kata Dae Woong dari kejauhan, tetap berlari. "Jangan katakan apapun padanya."
"Ah, Dae Woong!" ujar Mi Ho, tersenyum melihat Dae Woong dari kejauhan.
"Kau kenal Dae Woong?" tanya Hye In.
"Ya, dia temanku."
Ekspresi Hye In berubah, tidak lagi tersenyum ramah. "Apa kau kekasih Dae Woong?" tanyanya.
Mi Ho mengangguk. "Aku temannya."
"Kakak!" teriak Dae Woong, akhirnya tiba. "Tidak, dia bukan kekasihku!"
Byeong Soo memandang Dae Woong, terkejut. Begitu juga dengan Mi Ho.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar