Minggu, 31 Oktober 2010

Sinopsis My Girlfriend is a Gumiho Episode 1




"Dae Woong!" Terdengar suara panggilan seorang gadis.
Dae Woong terkejut setengah mati. Dilihatnya seorang gadis cantik berpakaian putih dan ia buru2-buru berbalik, pura-pura tidak mendengar dan melihat gadis itu.
"Dae Woong!" Gadis itu terus memanggil, namun Dae Woong malah berpura-pura menelepon.
"Oh, ya ya." ujar Dae Woong di ponselnya seraya berjalan menjauh. "Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas." Setelah merasa kondisi aman, Dae Woong menyimpan ponselnya dan berlari kabur, ketakutan.
Usaha Dae Woong melarikan diri gagal total. Gadis cantik berpakaian putih itu tiba-tiba muncul di hadapannya dengan ceria.
"Apa kau tidak melihatku?" tanya gadis itu. "Aku memanggil-manggil namamu. Apa kau tidak mendengarku?"
"Aku tidak melihatmu." jawab Dae Woong, berbohong. "Tadi aku sedang menelepon."
Gadis itu tertawa. "Aaahhh, begitu." ujarnya. "Kecuali kau ingin mati, kau pasti tidak akan berani berpura-pura tidak melihat atau mendengarku, bukan?"
Dae Woong tersenyum pahit mendengar ancaman halus itu. "Tentu saja tidak." katanya. "Aku masih ingin hidup."
Gadis itu tertawa ceria dan meraih tangan Dae Woong. "Ayo!" ajaknya. "Aku menemukan sesuatu yang luar biasa."
Dengan ceria, gadis itu menggandeng dan mengajak Dae Woong pergi. Gadis itu adalah Mi Ho, kekasih Dae Woong.
"Gadis ini adalah kekasihku." pikir Dae Woong dalam hati. "Kekasih yang luar biasa cantik, yang membuat semua pria merasa cemburu."
Ketika Dae Woong dan kekasihnya itu lewat, semua lelaki memandang terpana ke arah Mi Ho.
"Apa lagi kali ini?" tanya Dae Woong. "Kemana kita akan pergi?"
"Hari ini adalah hari yang spesial." kata Mi Ho, menarik Dae Woong ke depan sebuah restoran. "Woong, hari ini restoran itu baru saja memotong sapi. Hari ini, aku ingin makan daging sapi segar."
Dae Woong terkejut. "Daging sapi lagi?" serunya spontan. "Tidak bisa! Mi Ho, aku benar-benar tidak punya uang."
Tawa ceria menghilang dari wajah Mi Ho. "Tidak bisa?" tanyanya tajam. Senyum manis berubah menjadi senyum penuh ancaman. "Kalau begitu, aku ingin memakanmu."
Mi Ho mendekat pada Dae Woong dan mencolek leher Dae Woong dengan ujung telunjuknya seakan sedang mencicipi makanan enak. "Sangat lezat." ujarnya. "Rubah, rubah, apa yang akan kau lakukan? Aku ingin makan. Makanan apa? Dae Woong. Dae Woong mati atau hidup?"
Dae Woong ketakutan setengah mati.
"Dae Woong hidup!" seru Mi Ho, bertepuk tangan gembira. "Aku ingin makan daging sapi, jadi aku tidak akan memakanmu."
"Kekasihku, yang ingin memakanku, adalah gumiho (rubah berekor 9)." pikir Dae Woong.



The Past... (SEBELUMNYA...)
Dae Woong dan kawan-kawannya melakukan shooting di sebuah gymnasium. Dae Woong berperan sebagai aktor yang melakukan bela diri melawan penjahat.
"Apakah aku keren?" tanya Dae Woong setelah selesai shooting.
"Kau sangat keren." kata seorang gadis berkacamata bernama Ban Sun Nyeo.
Dae Woong merekam aktingnya itu, kemudian dipublikasikan diinternet.
Setelah selesai, Dae Woong mentraktir es krim untuk teman-temannya. Ia melihat hasil rekaman aktingnya. Mendadak ponselnya bergetar.
"Halo, kakak?" ujar Dae Woong, mengangkat telepon. "Kau sudah di kampus sekarang? Aku akan segera kesana. Hitung sampai 100."
Dae Woong bergegas mengemudikan motornya pergi.
Hanya dalam beberapa menit, Dae Woong sudah tiba di sebuah ruang kuliah. Seorang wanita sedang duduk sendirian di dalamnya. Wanita itu bernama Eun Hye In.
Dae Woong menyerahkan sebuah novel berjudul Moonlight Swordsman pada Hye In. "Kau akan ikut audisi untuk film ini juga?"
"Orang-orang bilang kesempatannya 150 banding 1." ujar Dae Woong sok. "Tapi, kurasa persaingan sebenarnya hanya dengan 2 atau 3 orang."
Hye In tertawa. "Itu hebat." serunya. "Aku sangat bangga padamu, Dae Woong kecil." Hye In berkata seraya mengacak-acak rambut Dae Woong.
Dae Woong menyentuh tangan Hye In. "Jika aku sudah terkenal, kau tidak akan bisa menyentuhku lagi. Sentuh aku selagi bisa. Ini, sentuh wajahku. Haruskah aku memelukmu juga?"
Hye In tertawa. "Aku terlalu kagum padamu hingga tidak sanggup memelukmu." jawabnya.
"Aku benar-benar akan menjadi terkenal dan membuatmu sangat kagum." janji Dae Woong.
Dae Woong mengajak kedua orang temannya, Kim Byeong Soo dan Sun Nyeo untuk melakukan perawatan rambut ke salon.
"Bukankah audisimu 4 hari lagi?" tanya Byeong Soo. "Memangnya tidak apa-apa jika rambutmu berombak?"
"Ah, aku tidak berpikir sampai situ!" seru Dae Woong. "Aku harus segera menggunakan penetral." Ia bangkit dan beranjak pergi.
"Dae Woong!" panggil Sun Nyeo. "Tapi, bukankah kita mengeriting rambut gratis disini karena gedung ini adalah milik kakekmu?"
"Sebenarnya, itu adalah bagian dari biaya sewa." kata Dae Woong, menyombongkan diri.
"Kau bisa makan dan menikmati seluruh toko di gedung ini jika menggunakan nama Dae Woong." ujar Byeong Soo menjilat.
Dae Woong berjalan menuju kasir. "Kami bertiga." ujarnya ringan.
Mendadak seorang pria tua datang. Dae Woong terkejut. Pria tua itu adalah kakeknya, Kakek Poong.
"Kau!" seru kakek itu pada Dae Woong, menunjukkan ekspresi 'bakal meledak'. "Kudengar kau datang untuk mendapatkan perawatan rambut gratis lagi. Dan bahkan kau membawa teman."
Dae Woong memberikan lirikan tajam pada kasir salon. Kasir salon membuang muka.
"Apa maksudmu gratis, Kakek?" tanya Dae Woong. "Aku baru saja akan membayar. Aku punya uang."
"Uang?" tanya Kakek. "Uang itu bukan uang yang kuberikan padamu untuk biaya kuliah, bukan?"
"Biaya kuliah?"
"Kampusmu menelepon dan mengatakan bahwa aku belum membayar biaya kuliah." omel Kakek. "Apa yang kau lakukan pada uang itu?"
"Aku menyimpannya di bank." jawab Dae Woong, berbohong. "Setelah aku membereskan rambut ini, aku akan pergi dan membayar biaya kuliahku."
Dae Woong hendak beranjak melarikan diri, tapi kakek menangkap tangan Dae Woong dan memelintir ke belakang.
"Mau kemana kau?" seru Kakek marah. "Kudengar kau membeli motor dengan uang itu. Bibimu menceritakan segalanya padaku. Dimana kau menyembunyikan motor itu?"
"Huush.. Ssttt..." ujar Dae Woong, menyuruh kakeknya diam. "Aku mengerti. Aku akan menyerahkan motor itu. Aku janji. Aku janji."
"Ayo!"
Byeong Soo dan Sun Nyeo keluar karena mendengar keributan itu.
"Tapi aku harus memberi penetral rambut dulu." bantah Dae Woong. "Jika aku membiarkannya terus, rambutku akan berombak."
Karena bujukan Byeong Soo juga, akhirnya kakek menyerah dan membiarkan Dae Woong menetralkan rambutnya dulu.
Dae Woong menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
Dae Woong mengemudikan motornya pergi. Di tengah jalan, mendadak polisi mengejar dan menyuruhnya berhenti.
"Motor ini dilaporkan hilang." kata polisi. "Ikut kami ke kantor polisi."
Dae Woong berakhir di penjara. "Aku tidak akan melarikan diri!" teriak Dae Woong. "Aku hanya ingin ke salon! Atau paling tidak, berikan aku penetral rambut! Aku akan menjadi bintang film. Aku harus ikut audisi penting! Jika rambutku keriting, aku akan menuntut kalian!"
Seorang wanita tiba. "Dae Woong!" panggilnya.
"Bibi!"
"Ayo keluar." ujar Bibi. "Kakekmu menunggumu."
Setelah bebas dari penjara, Dae Woong berjalan keluar menemui kakeknya dengan takut-takut.
"Pertama-tama, kita harus membereskan rambutmu." ujar Kakek.
Bibi Dae Woong, Cha Min Sook, kesal karena ayahnya tega memenjarakan Dae Woong dengan tuduhan pencurian motor.
"Tapi aku tetap membebaskannya karena ia cucuku." ujar Kakek Poong membela diri. "Ia bersikeras bersekolah dan aku menurutinya. Tapi lihat, dia malah menghabiskan uang kuliah untuk membeli motor."
"Kaulah orang yang selalu merasa kasihan padanya karena kehilangan kedua orang tua pada umur yang sangat muda." ujar Min Sook. "Kaulah yang merusaknya."
"Kau..." Kakek menoleh dengan kesal ke arah Min Sook. "Tunggu dan lihat saja. Kali ini, aku benar-benar sudah menetapkan hati."
Dae Woong keluar dan berjalan ke arah mereka. Ia mengusap-usap rambutnya dengan tampang cemberut.
"Kakek, maafkan aku..." ujar Dae Woong cuek, tapi langsung terdiam karena kakeknya menatapnya kesal. Nada bicara Dae Woong berubah sopan, "Maafkan aku."
Kakek Poong bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Dae Woong. "Semuanya sudah disiapkan." katanya. "Ayo!"
Dae Woong, Kakek Poong dan Min Sook menaiki mobil.
"Apa?!" seru Dae Woong. "Akademu Spartan?! Kenapa aku harus kesana?!"
"Diam disana dan belajar." ujar Kakek tenang. "Setelah itu, kau boleh kembali ke kampus."
"Tidak bisa, Kakek!" protes Dae Woong. "Aku ada audisi beberapa hari lagi. Aku tidak akan pergi! Bibi, hentikan mobil!"
Keputusan Kakek Poong sudah bulat. Ia ingin Dae Woong pergi sejenak agar ia belajar lebih dewasa. Dae Woong tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa menarik napas pasrah.
Di tempat lain, di sebuah kuil tua kecil di tengah danau, seorang pendeta mempersilahkan dua orang wanita masuk.
"Ini adalah lukisan dimana gumiho (rubah berekor 9) dikurung serama beratus-ratus tahun." ujar pendeta menjelaskan seraya menunjuk sebuah lukisan tua. "Dan nenek tiga dewi disampingnya itu memiliki banyak keberuntungan. Dialah yang menjodohkan semua pria dan wanita serta mengaugerahi anak pada kita."
"Tapi rubah itu tidak punya ekor." kata wanita gemuk.
"Sebenarnya ia memiliki 9 ekor dan ia luar biasa cantik." ujar pendeta.
Pendeta mulai menjelaskan mengenai gumiho.
"Gumiho itu turun ke dunia dan ingin hidup sebagai manusia." ujar pendeta. "Tapi kecantikannya yang luar biasa menjadi masalah. Para pelajar berhenti belajar. Para petani berhenti bertani." Para petani itu pingsan karena melihat kecantikan sang gumiho. "Dan para pedagang, berhenti bekerja. Mereka semua tersihir oleh kecantikan gumiho dan tidak bisa berbuat apa-apa. Para wanita tidak tahan melihat kelakuan para laki-laki dan memohon bantuan pada dewi. Sang dewi bingung. Ia berpikir, jika dia bisa mencarikan suami untuk gumiho, maka semua masalah akan selesai. Jadi ia berusaha mencarikan laki-laki untuk gumiho. Tapi tidak ada wanita yang mau mengorbankan suami atau putra mereka agar menjadi suami gumiho. Mereka menyebarkan desas-desus mengenai gumiho."
Para wanita itu mengatakan bahwa gumiho memakan hati laki-laki dan ingin menjadi manusia.
Sang gumiho duduk di kediamannya, siap untuk menikah. Ia menunggu seorang pria datang, namun tidak ada seorangpun yang muncul. Berhari-hari ia menunggu, namun tetap tidak ada yang datang. Gumiho menjadi sangat sedih dan menangis.
"Lalu, dewi itu memotong semua ekor gumiho dan mengurungnya dalam lukisan agar gumiho tidak bisa datang ke dunia lagi." lanjut pendeta.
"Kasihan sekali gumiho itu." ujar wanita gemuk. "Ia tidak mendapat suami dan harus dikurung dalam lukisan."
"Berhenti meledek gumiho yang tidak punya suami dan ekor." ujar pendeta. "Cepat buat permohonan."
Setelah selesai memohon, kedua wanita itu hendak pergi.
"Ini aneh." ujar wanita gemuk seraya mengaduk-aduk isi tasnya. "Sosis yang kubawa hilang."
"Kau pasti menjatuhkannya." kata wanita satunya. Ia lalu mengajak wanita gemuk pergi.
Tanpa mereka ketahui, seorang gadis cantik mengintip dari balik pintu. Ia adalah Mi Ho.
"Dasar pendeta palsu." gumam Mi Ho. "Kenapa ia membawa mereka kemari dan membuatku kesal lagi? Ketika masih muda, pendeta itu tampan. Sekarang ia sudah tua dan banyak omong. Ia tidak tahu apa-apa tapi malah bercerita pada orang lain."
Mi Ho menggigit sosis yang dicurinya dari wanita gemuk, lalu memuntahkannya. "Apa ini?" keluhnya. "Baunya saja yang seperti daging, tapi ini bukan daging sungguhan. Aku ingin makan daging sungguhan!"
Di lain sisi, Dae Woong mencoba kabur dari kakeknya dan berhasil. Dae Woong bersembunyi dalam sebuah truk barang dan terbawa pergi ke daerah antah berantah. Ponsel dan dompetnya disita Kakek, jadi Dae Woong tidak membawa apa-apa.
"Dimana ini?" gumam Dae Woong di tengah hujan ketika ia sudah turun dari belakang truk barang. "Aku haus dan lapar. Kakiku juga sakit."
Mendadak sebuah mobil lewat. Dae Woong menghentikan mobil itu. Ternyata itu adalah mobil pendeta. Akhirnya, Dae Woong menumpang makan dan berteduh di kuil pendeta itu.
"Bolehkah aku pinjam telepon? pinta Dae Woong.
Dae Woong berusaha mengingat-ingat nomor telepon bibinya. Berulang kali ia memasukkan nomor, tapi tidak ada satupun yang benar. Ditambah lagi, signal di daerah itu parah, jadi Dae Woong harus berjalan cukup jauh untuk mencari signal.
Akhirnya, sampailah Dae Woong di kuil sang gumiho.
"Ah, ada signal." gumamnya.
Mendadak, hujan turun dengan deras. Dae Woong menggunakan capingnya dan berlari untuk meneduh di teras kuil.
Dae Woong melanjutkan usahanya menelepon bibinya. "Ah, baterenya hampir habis!"
Tiba-tiba terdengar petir menyambar dengan kencang. Dae Woong kaget setengah mati. "Jantungku hampir keluar." katanya.
Terdengar suara di ponsel. "Kau bisa mendengarku?" ujar seorang wanita. Itu adalah suara sang gumiho.
"Aku bisa mendengar dengan jelas. Aku Dae Woong. Apakah ini kau, Bibi?" tanya Dae Woong penuh harap.
"Aku lega kau bisa mendengarku." ujar Gumiho.
Dae Woong tahu ia salah nomor lagi dan berniat mematikan telepon.
"Tunggu. Aku harus bicara denganmu."
"Apa kau ingin kencan ditelepon dengan telepon salah sambung?" tanya Dae Woong. "Maaf, aku sibuk dan aku tidak tertarik."
Dae Woong melepas capingnya.
"Kau laki-laki muda." ujar Gumiho. "Kau kelihatan lebih tampan dengan caping dilepas."
Dae Woong bingung. Bagaimana orang diseberang telepon bisa tahu bahwa ia baru saja membuka capingnya? Ia kemudian melihat ponselnya. Dan ponsel tersebut mati! Ketakutan mulai merayapi Dae Woong.
"Baterenya habis." pikirnya. "Tapi kenapa tadi masih bisa?"
Dengan takut-takut, Dae Woong mencoba bicara lagi di telepon. "Halo?"
"Kenapa kau menghubungiku?" tanya Gumiho. "Aku masih mengawasimu."
Dae Woong sangat ketakutan dan melihat sekeliling dengan panik.
"Apa kau mencariku?" tanya Gumiho. "Kau tidak akan bisa melihatku."
Dae Woong mencoba kabur.
'Tunggu!" tahan Gumiho. "Jika kau melarikan diri, aku akan marah."
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Dae Wong ketakutan.
"Ada sesuatu yang harus kau lakukan untukku." kata gumiho. "Kemarilah."
Mendadak, pintu kuil terbuka. Gumiho menyuruh Dae Woong masuk.
"Kau lihat lukisan disana?" tanya Gumiho.
"Seorang nenek dan anjing?"
"Itu bukan anjing." bantah Gumiho. "Itu rubah."
"Di lukisan itu, sang rubah tidak memiliki ekor. Gambar ekor rubah. Ekornya ada 9."
Dae Woong mendekati lukisan dan mulai menggambar. Ketika ia menggambar, hujan menjadi semakin deras dan petir terus menyambar. Di kuil, anjing kuil menggonggong keras. Para pendeta mulai keluar.
"Gambar dengan cepat." perintah Gumiho.
Akhirnya kesembilan ekor rumah selesai digambar. Angin berhembus dengan sangat kencang, namun hanya sekejap, setelah itu tenang. Dae Woong bergegas berlari ketakutan keluar dari kuil. Ia meninggalkan caping dan ponselnya yang terjatuh di kuil.
Tidak lama kemudian, para pendeta tiba. "Rubah itu hilang!" seru mereka seraya menatap lukisan dewi, tanpa sang rubah.
Dae Woong melarikan diri melewati hutan, namun ia terjatuh ke lembah berbatu dan pingsan.
Sang gumiho datang dan jongkok di sisi Dae Woong. Ia menoel wajah Dae Woong. "Oy, oy, apa kau sudah mati?" tanyanya. Dae Woong bergerak sedikit. "Kelihatannya kau sangat kesakitan. Apa kau merasa akan mati? Kau menggambarkan ekor untukku, aku tidak akan membiarkanmu mati.
Gumiho berpikir sejenak. "Jika aku menyelamatkannya, mungkin ia akan berguna untukku." gumamnya. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Dae Woong. Sebuah butiran sebesar kelereng keluar dari mulut gumiho dan masuk ke mulut Dae Woong.
Dae Woong terbangun keesokkan harinya dengan keadaan tersangkut di pohon.
"Kau sudah bangun?" sapa Mi Ho, tersenyum.
"Dia cantik." gumam Dae Woong.
"Babi hutan mencoba memakanmu, jadi aku mletakkanmu disana." ujar Mi Ho. "Turun sini."
"Siapa kau?" tanya Dae Woong.
"Kau tidak ingat bicara denganku kemarin?" tanya Mi Ho.
"Kapan?" pikir Dae Woong.
"Kau kelihatan lebih tampan di siang hari." ujar Mi Ho.
Dae Woong teringat tadi malam ketika sang gumiho mengatakan bahwa Dae Woong lebih tampan jika capingnya dilepas.
Dae Woong menjadi ketakutan hingga terjatuh dari pohon. "Menjauh dariku, Hantu!"
"Aku bukan hantu." ujar Mi Ho tenang, mendekati Dae Woong.
"Benar. Hantu tidak akan keluar di siang hari." gumam Dae Woong pada dirinya sendiri. Ia menjulurkan jari telunjuknya untuk menyentuh Mi Ho. "Dia manusia."
Mi Ho sangat senang mendengarnya. "Apa aku kelihatan seperti manusia?"
Dae Woong bingung.

Disisi lain, Pendeta memanggil polisi ke kuil untuk melihat lukisan yang gambar rubahnya hilang. Ia kemudian meminta polisi tersebut mencari Dae Woong. Ia khawatir Dae Woong dalam bahaya.
Mi Ho bercerita pada Dae Woong bahwa ia terpaksa menakut-nakutinya agar ia mau menggambarkan ekor rubah.
Dae Woong cemas karena ia merasa telah merusak lukisan kuno yang berharga. Ia mengajak Mi Ho kembali ke kuil untuk menjelaskan segalanya.
"Aku tidak mau kembali ke kuil." kata Mi Ho. "Aku mencoba pergi. Aku ditangkap oleh nenek dan dikurung dalam waktu yang lama."
"Kau dikurung karena kau adalah pembuat masalah." ujar Dae Woong. "Aku tahu itu. Nenekmu mengurungmu? Aku mengerti situasimu karena aku memiliki kakek yang seperti itu. Tapi kau tidak boleh mengerjai orang kemudian melarikan diri. Berapa lama kau dikurung?"
"500 tahun." jawab Mi Ho polos. "Aku dikurung oleh nenek tiga dewi
Dae Woong terdiam, menahan tawanya. "Lalu siapa kau?"
"Aku... gumiho."
"Karena itu kau memintaku menggambar 9 ekor?" tanya Dae Woong, kelihatan bingung.
Mi Ho mengangguk. "Ya, aku juga membantumu." katanya. "Kau tidak terluka karena butiran rubah yang kuletakkan disini." Mi Ho memasukkan tangannya ke dalam kaos Dae Woong.
"Kau gila!" teriak Dae Woong, tidak mempercayai kata-kata Mi Ho.
Mi Ho berjanji pada Dae Woong bahwa ia akan memperlihatkan kesembilan ekornya saat bulan muncul.
Dae Woong kesal karena mengira Mi Ho mengucapkan hal-hal gila yang tidak masuk akal. Ia mencoba melarikan diri dari Mi Ho.
Mi Ho hanya tersenyum karena tahu bahwa arah yang dituju Dae Woong adalah arah dimana babi hutan berada. Ia hanya diam, tidak mengejar Dae Woong.
Tidak lama berjalan, Dae Woong bertemu dengan babi hutan itu.
Dae Woong bergegas bersembunyi, tapi ia mencemaskan Mi Ho. "Apa yang akan kulakukan padanya?" pikir Dae Woong.
Tidak jauh dari sana, Mi Ho berjalan mondar-mandir, menunggu Dae Woong kembali.
"Ia kembali." gumam Mi Ho, tersenyum melihat Dae Woong berlari ngebut.
"Cepat lari! Ada babi hutan!" seru Dae Woong seraya berlari menggandeng tangan Mi Ho. Mereka kemudian bersembunyi di balik pohon dan akhirnya lolos dari si babi hutan.
Dae Woong dan Mi Ho lolos dari hutan. Dae Woong cemas melihat penampilan Mi Ho, takut kalau-kalau ada laki-laki yang berniat buruk. Ia kemudian memberikan kemejanya agar dipakai Mi Ho.
"Sekarang kembalilah ke kuil dan mohon maaf pada pendeta." kata Dae Woong, kemudian berjalan pergi.
Seorang lelaki muda datang ke kuil untuk memeriksa keadaan. Setelah menenangkan anjing penjaga kuil, ia melihat lukisan rubah.
"Anjing itu diperintahkan untuk menjaga lukisannya." gumam lelaki itu pada dirinya sendiri. "Tapi ia berhasil lolos. Pasti ada seseorang yang menolongnya. Siapa orang itu?"
Lelaki itu bernama Park Dong Joo.
Dae Woong terpaksa menjual kalungnya untuk mendapatkan uang.
Ketika ia masuk ke kotak telepon umum untuk menelepon, ia melihat Mi Ho sedang duduk di kejauhan.
"Ia mengikutiku kemari!" seru Dae Woong kaget.
Mi Ho sedang duduk sendirian di bangku taman. Ketika seseorang membuang kaleng minuman di tempat sampat di dekat situ, Mi Ho panasaran dan mengambil kaleng minuman itu kemudian meminum sisanya.
"Dia benar-benar sangat cantik." gumam Dae Woong dalam hati.
Dae Woong menelepon tempat kuliahnya untuk menanyakan apakah biaya kuliahnya di Akademi Drama Han Gong sudah dibayar. Pihak akademi mengatakan bahwa biaya kuliahnya sudah dibayar.
Dari kejauhan, Mi Ho bisa mendengar ucapan Dae Woong.
"Ah, aku sekarang bisa lega dan makan dengan tenang." gumam Dae Woong. Ia berjalan pergi. Mi Ho mengikutinya.
"Ajak aku makan juga." kata Mi Ho. "Belikan aku daging. Aku tidak pernah makan daging selama dikurung dikuil. Aku ingin sekali makan daging sapi."
"Kau dan aku tidak saling mengenal." ujar Dae Woong acuh, beranjak pergi.
"Belikan aku daging sapi, Dae Woong!" teriak Mi Ho.
Dae Woong bingung, bagaimana Mi Ho bisa tahu namanya? Mi Ho menjawab bahwa ia mendengar ketika Dae Woong menelepon kampusnya.
Dae Woong akhirnya setuju mengajak Mi Ho makan daging sapi. Ia meminta Mi Ho berjanji agar tidak menceritakan kejadian di kuil pada siapapun. Mi Ho juga menyuruh Dae Woong berjanji, "Jangan katakan pada siapapun bahwa aku gumiho. Jika tidak, kau akan mati." ancamnya.
"Setuju!" ujar Dae Woong.
Mi Ho sangat tergoda melihat daging dan tidak sabar menunggu daging yang dimasak matang. Tapi karena ia ingin seperti manusia, maka ia menahan diri untuk tidak makan daging mentah.
Saat Mi Ho sedang makan, Dae Woong minta izin ke toilet, namun pada kenyataannya ia menelepon kuil untuk memberitahukan bahwa Mi Ho ada di restoran daging. Setelah itu, ia pergi begitu saja.
Di restoran daging, Mi Ho mencari Dae Woong ke toilet.
"Ia bilang ia pergi ke toilet." gumam Mi Ho, masih membawa sepotong daging. Ia berkeliling melihat-lihat. "Kenapa ada kursi di setiap ruangan?"
Mi Ho masuk ke dalan salah satu kamar mandi dan melihat kloset dengan heran. "Ini bukan kursi!" katanya. "Ini sumur! Warnanya putih dan mengkilat. Sumurnya cantik tapi airnya tidak terlalu bersih."
Tidak sengaja Mi Ho menjatukan dagingnya ke dalam kloset dan menekan tombol flush.
"Sumur ini memakan dagingku!" omolnya seorang diri.
Mendadak ia mencium bau si pendeta dan bergegas pergi.
Pendeta tersebut tidak bisa menemukan Dae Woong ataupun Mi Ho. Dong Joo memohon diri untuk kembali ke Seoul dan menawarkan untuk memperbaiki ponsel yang dipinjam Dae Woong di Seoul.
"Jika aku bisa memperbaiki ponsel ini, aku pasti bisa menemukan petunjuk." pikirnya.
Mi Ho berusaha mencari-cari bau Dae Woong dengan berdiri di sebuah bangunan tinggi.
Ketika akan mencari, ia melihat seoarang pria membeli minuman kaleng seperti yang ia minum dari tempat sampah. Karena penasaran, ia mendekati pria itu.
Melihat seorang gadis cantik mendekat, pria itu langsung memberikan minuman kaleng pada Mi Ho.
Mi Ho meminumnya dan sangat terkejut karena minuman itu bersoda. "Ini pertama kalinya aku minum minuman luar biasa." ujarnya.
Tanpa Mi Ho ataupun Dong Joo sadari, mobil yang dikendarai Dong Joo melewati Mi Ho.
Min Sook pergi ke pusat perbelanjaan. Ia menelepon Byeong Soo dan mengatakan padanya agar memberitahu jika Dae Woong menelepon. Setelah itu, ia menaiki elevator. Saat itu elevator kosong. Tanpa sengaja, Mi Sook kentut di dalamnya.
"Aduh, bagaimana jika ada orang masuk?" gumam Mi Sook cemas, karena bau kentutnya menyengat. Hehe..
Tidak lama, elevator berhenti di lantai tiga dan seorang pria masuk.
Pria itu hanya diam, sambil sedikit melirik ke arah Min Sook. Min Sook pura-pura cuek.
Elevator berhenti di lantai selanjutnya dan dua orang wanita masuk.
"Bau busuk apa ini?" keluh wanita itu.
"Maafkan aku, Nyonya, perutku sedang tidak enak." kata si pria, kemudian keluar di lantai selanjutnya.
Min Sook memberi pandangan berterima kasih.
Dae Woong sangat kesal karena Mi Ho terus menerus mengikutinya, bahkan sampai di bus menuju Seoul.
"Aku menyukaimu." ujar Mi Ho, mendekat pada Dae Woong. "Aku akan terus mengikutimu."
Dae Woong mendorong Mi Ho dengan kasar. "Banyak wanita melakukan apapun untuk menggoda laki-laki." katanya. "Tapi aku baru bertemu dengan gadis yang berpura-pura gila sepertimu!"
"Aku tidak bohong." kata Mi Ho dengan ekspresi tertekan.
"Jadi, kau benar-benar gumiho?"
"Ya."
Dae Woong memandang Mi Ho tajam. "Kau rubah berekor 9 yang menggoda laki-laki dan menyihir mereka, lalu memakan hati mereka?"
"Aku menyelamatkanmu." kata Mi Ho. "Aku memberimu butir rubah untuk menolong nyawamu."
"Kau masih saja bertingkah seperti orang gila!" seru Dae Woong jengkel. "Nona Mi Ho, aku akan pergi, jadi temukan aku lagi dengan mencium bauku. Dan ketika bulan muncul, tunjukkan ekormu padaku. Dan keluarkan butir rubah. Maka aku akan percaya padamu."
Dae Woong berbalik dan berjalan pergi.
"Aku akan mengikutimu." seru Mi Ho. "Aku akan menemukanmu dan membuatmu percaya padaku. Lalu, kau akan mati."
Dae Woong menoleh, kemudian berjalan lagi masuk ke dalam bus menuju Seoul.
Sepanjang perjalanan pulang, perasaan Dae Woong tidak tenang. Ia merasa seseorang mengikutinya.
Dae Woong akhienya tiba di gymnasium tempatnya shooting.
Tanpa sengaja, Byeong Soo melihat luka parah di punggung Dae Woong.
"Kenapa kau bisa terluka seperti ini?" tanya Byeong Soo. "Kau tidak merasa sakit? Sepertinya lukanya menembus tulang."
Dae Woong berpikir. Ia teringat ketika ia terjatuh di lembah di hutan.
Dae Woong bercerita pada Byeong Soo bahwa ia bertemu dengan wanita yang mengaku Gumiho. ia sudah berjanji tidak akan menceritakan apda siapapun.
Byeong Soo malah menakuti Dae Woong. "Gumiho akan memakan hatimu. Jaga hatimu."
Byeong Soo akhirnya pergi bersama Sun Nyeo, meninggalkan Dae Woong seorang diri di gymnasium.
"Jika keluar, jangan matikan lampu!" teriak Dae Woong.
Namun lampu langsung mati begitu Byeong Soo dan Sun Nyeo pergi.
Setelah membersihkan diri, Dae Woong bermain basket. Ketika sedang bermain, bolanya menggelinding jauh, namun kemudian kembali seakan-akan ada orang yang mengembalikannya.
"Pasti membentur tembok." pikir Dae Woong, positif thingking.
Ia mengambil bola tersebut, namun bola-bola lain mulai menggelinding mendekati Dae Woong.
Tidak lama kemudian, Mi Ho muncul, berjalan perlahan melewati Dae Woong, menuju dekat jendela dimana cahaya bulan bisa masuk.
"Kecantikanmu luar biasa." ujar Dae Woong takut-takut.
"Sudah kukatakan padamu bahwa aku gumiho." kata Mi Ho tenang. Ia berbalik dan menatap jendela di langit-langit gym. "Sebentar lagi bulan akan muncul. Sudah kukatakan padamu bahwa aku akan menunjukkannya saat bulan muncul."
"Bulan?" gumam Dae Woong.
Mi Ho maju selangkah ke cahaya bulan. Saat itulah muncul 9 ekor berbulu putih dari belakang tubuh Mi Ho.
"Kau punya 9 ekor." gumam Dae Woong, terkejut dan terpana sekaligus.
"Karena aku gumiho." jawab Mi Ho. "Sekarang, aku akan mengambil kembali butir rubahku."

Mi Ho berjalan cepat mendekati Dae Woong dan menarik kembali butir rubah yang pernah ia berikan untuk menyelamatkan nyawa Dae Woong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar